Pertemuan ke-20
Pelatihan Belajar Menulis PGRI
Narasumber : Edi S. Mulyanta
Moderator : Rosminiyati
Pelatihan menulis PGRI hari ini Jum'at, 1 Juni 2022 memasuki pertemuan ke-20. Temanya adalah "Menguak Dapur Penerbit Mayor" bersama narasumber Bapak Edi S. Mulyanta dan moderator Ibu Rosminiyati.
Profil narasumber Bapak Edi S. Mulyanta dapat dilihat pada tautan berikut.
https://www.pbuandi.com/2021/11/edi-s-mulyanta.html?view=flipcard
Pandemi Covid 19 merupakan wabah yang meluluhlantakan industri penerbitan di Indonesia. Tahun 2019 merupakan tahun yang paling berat dalam dunia penerbitan buku, karena perubahan teknologi betul-betul seperti bayang-bayang kelam yang dapat melahap dunia penerbitan buku di Indonesia bahkan di dunia.
Beruntung sebelum pandemi, pemerintah telah mengeluarkan undang-undang perbukuan yang mencoba format baru digital untuk dapat dikembangkan di dunia perbukuan Indonesia.
Dunia penerbitan yang saat ini di bawah IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), menjadi was-was dan memandang cukup berat tantangan ke depan dunia cetak dan produksi buku. Undang-undang no 3 th 2017 tentang sistem perbukuan, telah memberikan isyarat yang tegas akan hadirnya format media digital yang telah diberikan keleluasaan untuk secara bertahan menggantikan dunia cetak. Dipertegas lagi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah no 22 yang keluar pada tahun 2022, telah memberikan petunjuk secara tegas untuk memberikan arah ke dunia digital di penerbitan.
Hal tersebut membuat dunia penerbitan bergegas untuk mengubah haluan visi misi mereka ke arah yang lebih up to date, menyongsong perkembangan teknologi yang lebih cepat dibandingkan perkembangan dunia bisnis penerbitan secara umum. Beberapa penerbit yang tidak dapat mengikuti perkembangan jaman, akhirnya mencoba mengurangi intensitas terbitan bukunya, akhirnya berimbas pula ke jumlah produksi buku mereka, dan memukul pula pendapatan atau omzet buku mereka. Penerbit buku di bawah IKAPI adalah penerbit yang mementingkan UUD (Ujung-ujungnya Duit) untuk mempertahankan kelangsungan bisnisnya. Secara otomatis cash flow akan terganggu, sehingga banyak penerbit akhirnya berpindah haluan ke usaha yang lain.
Tahun 2020-2022 merupakan masa paceklik bagi industri penerbitan, akan tetapi berbeda dengan dunia penulisan yang justru marak-maraknya. Hal ini mungkin karena aktifitas kita dibatasi, sehingga banyak yang memberikan kesempatan untuk bekerja dari rumah (WFH)
Selama pandemi, naskah masuk yang masih stabil. Akan tetapi angka penjualan yang turun hingga 90%, dimana toko buku sebagai outlet utama kami banyak yang tutup. Sekolah dan kampus sebagai sumber pendapatan kami juga melakukan proses belajar mengajar secara daring.
Produksi buku reguler sempat terhenti, sehingga banyak penulis yang mempertanyakan masa depan penerbitan di Indonesia secara umum.
Tidak semua tema buku, ternyata bisa digantikan oleh digital, hal inilah yang memberikan harapan baru penerbit untuk masih tetap memertahankan lini bisnis bukunya. Titik balik (rebound) pasar buku yang lesu tampaknya sudah mulai terasa mulai awal tahun 2022 ini, sehingga beberapa penerbit yang terlanjur mengurangi produksi bukunya bisa tertinggal oleh penerbit yang masih konsisten memertahankan produksi bukunya.
Data-data pemasaran tidak pernah bohong, bahwa beberapa buku dengan tema yang khas ternyata masih sangat baik di pasar. Nah para penerbit saat ini sedang gencar untuk tetap mempertahankan lini bisnis, yang memang telah teruji oleh perubahan jaman. Hal ini memang membutuhkan dana yang luar biasa besa untuk mencoba menggali lebih dalam pasar-pasar buku yang tidak tergoyahkan dengan perkembangan teknologi yang begitu gencar. Di dalam dunia Start-up dikenal dengan strategi bakar uang, nah di penerbit-penerbit masih mencoba untuk melakukan beberapa penelitian tema yang masih tetap baik di pasar.
Penerbit-penerbit mayor mempunyai idealisme masing-masing, sehingga perlu perhitungkan baik-baik jika mengusulkan usulan buku ke penerbit tersebut.
Tema buku yang menjadi andalan Toko Buku saat ini adalah tema buku non teks, seperti buku Anak, Buku Motivasi dan Agama, Fiksi, hingga buku Masak yang masih nangkrin di 10 besar data buku terlaris di setiap toko buku di Indonesia.
Yang menjadi permasalahan klise di dunia penerbitan adalah masalah modal beserta pembiayaan produksi buku yang cukup besar nilainya dalam sebuah proyek terbitan satu judul buku.
Konsep dasar pembiayaan dalam penerbitan buku, adalah penerbitnya yang membiayai. Tetapi karena banyak tulisan yang tidak sesuai dengan misi dan visi penerbit akhirnya tidak dapat menerbitkan. Karena banyaknya buku yang ditolak penerbit, akhirnya penerbit memberikan skema lain dalam penerbitannya. Misalnya dibiayai oleh penulisnya sendiri, baik melalui skema dana pribadi, CSR Perusahaan, Dana Penelitian Daerah, Dana Sekolah dll.
Skema penerbitan Indi, sempat marak saat pandemi, dengan pembiayaan dari penulis akhirnya sebuah naskah dapat diterbitkan.
Maraknya penerbitan indi ini ternyata memicu permasalahan yang lain yang belum pernah terjadi di dunia penerbitan yaitu menjadi langkanya nomor ISBN di perpustakaan nasional.
Mengapa bisa demikian? hal ini karena dipicunya keinginan menulis buku hanya untuk mengejar angka kredit semata, tidak memikirkan apakah tulisan tersebut disebarluaskan ke masyarakat seperti amanat undang-undang perbukuan 2017.
Padahal ISBN sangat bermanfaat sebagai izin terbitnya sebuah buku, sebagaimana berikut.
Pemicu kelangkaan ISBN adalah poin nomor 5, bukan karena kesalahan ekosistem penerbitan
Saat ini konsep penerbitan buku oleh pemerintah dicoba untuk kembali sesuai dengan Undang-undang perbukuan 2017, dimana terbitan buku harus tersebar luas di masyarakat.
Perpustakaan nasional akhirnya memberikan kebijakan baru untuk membuat sub nomor untuk menghemat ISBN yang telah dijatah oleh ISBN Internasional.
Struktur utama ISBN pada publication element menunjukkan jumlah produksi buku yang telah diterbitkan untuk mengetahui jumlah rata-rata produksi buku sebuah penerbit.
Buka Apa yang Bisa Ditulis?
Untuk menentukan jenis tulisan sebaiknya mengikuti aturan pemerintah yang paling baru.